Pages

Senin, 25 Mei 2015


LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATANCIDERA KEPALA









A.      PENDAHULUAN
1.    Latar belakang
Tengkorak sebagai pelindung jaringan otak mempunyai daya elastisitas untuk mengatasi trauma bila dipukul atau terbentur benda tumpul. Namun pada benturan, beberapa mili detik akan terjadi depresi maksimal dan diikuti osilasi. Trauma pada kepala dapat menyebabkan fraktur pada tengkorak dan trauma jaringan lunak/otak atau kulit seperti kontusio/memar otak, oedem otak, perdarahan dengan derajat yang bervariasi tergantung pada luas daerah trauma.
Sehingga apabila terjadi cedera kepala memerlukan penatalaksanaan yang cepat, tepat dan asuhan keperawatan yang benar. Sehingga efek sekunder dari cedera kepala dapat diminimalkan dan penyembuhan dapat maksimal.
2.    Tujuan
Tujuan penulisan laporan pendahuluan ini adalah :
1.         Mengetahui dan memahami mengenai trauma dan cedera kepala, patofisiologi, tanda dan gejala serta penatalaksanaannya.
2.         Mengetahui asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien dengan cedera kepala.
3.         Mampu menerapkan asuhan keperawatan kepada pasien dengan cedera kepala.
B.       KONSEP TEORI 
  1. PENGERTIAN
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera otak terdapat dibagi dalam dua macam yaitu :
a.    Cidera otak primer:
Adalah kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung dari trauma. Pada cidera primer dapat terjadi: memar otak, laserasi.
b.    Cidera otak sekunder:
Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia, metabolisme, fisiologi yang timbul setelah trauma.
KLASIFIKASI
Beratnya cedera kepala saat ini didefinisikan oleh The Traumatik Coma Data Bankberdasarkan Skore Scala Coma Glascow (GCS). Penggunaan istilah cedera kepala ringan, sedang dan berat berhubungan dari pengkajian parameter dalam menetukan terapi dan perawatan. Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut :
1.    Cedera Kepela Ringan
     Nilai GCS 13-15 yang dapat terjadi kehilanga kedaran atau amnesia akan tetapi kurang dari 30 menit. Tidak terdapat fraktur tengkorak serta tidak ada kontusio serebral dan hematoma.
2.    Cedera Kepala Sedang
     Nilai GCS 9-12 yang dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 0 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3.    Cedera Kepala Berat
     Nilai GCS 3-8 yang diikuti dengan kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam meliputi kontusio serebral, laserasi atau hematoma intrakranial.
 Tabel 1. Skala Koma Glasgow (Blak, 1997)
1.         Membuka Mata
Spontan
Terhadap rangsang suara
Terhadap nyeri
Tidak ada

4
3
2
1
2.         Respon Verbal
Orientasi baik
orientasi terganggu
Kata-kata tidak jelas
Suara Tidak jelas
 Tidak ada respon

5
4
3
2
1
3.         Respon Motorik
Mampu bergerak
Melokalisasi nyeri
Fleksi menarik
Fleksi abnormal
Ekstensi
Tidak ada respon

6
5
4
3
2
1
Total
3 - 15

  1. ETIOLOGI
a.    Kecelakaan
b.    Jatuh
c.    Trauma akibat persalinan.
  1. PATOFISIOLOGI
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik berat.
Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini adalah kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan regangan serabu saraf dan kematian langsung pada daerah yang terkena.
Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi dan infark otak. Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan.
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya seperti dijumpai pada epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang berhubungan dengan hipofisis.
Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif. Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam batang otak.
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena kerusakan pembuluh darah atau karena penekanan oleh herniasi unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku  terjadi bila hubungan batang otak dengan korteks serebri terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal. Kerusakan-kerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus panjang menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas dangkal tak teratur yang dijumpai pada kerusakan medula oblongata akan menimbulkan timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam yang terjadi pada gangguan setinggi diensefalon akan mengakibatkan alkalosisi respiratorik.
  1. TANDA DAN GEJALA
a.    Gangguan kesadaran
b.    Konfusi
c.    Abnormalitas pupil
d.   Awitan tiba-tiba defisit neurologi
e.    Perubahan tanda vital
f.     Gangguan penglihatan dan pendengaran
g.    Disfungsi sensory
h.    Kejang otot
i.      Sakit kepala
j.      Vertigo
k.    Gangguan pergerakan
l.      Kejang
  1. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.    CT Scan dan Rontgen mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak
b.    Angiografi serebral menjukan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma
c.    X-Ray mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang
d.   Analisa gas darah mendeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika peningkatan tekanan intracranial.
e.    Elektrolit untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intracranial 


  1. PENGKAJIAN
BREATHING
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
BLOOD:
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
BRAIN
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
·      Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
·      Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
·      Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
·      Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
·      Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
·      Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
BLADER
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
BOWEL
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
BONE
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
  1. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a.    Kerusakan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan adanya edema serebri
b.    Ketidakefektifan jalan napas berhubungan dengan akumulasi sekresi dan sumbatan jalan napas
c.    Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilitas yang lama
d.   Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif dan penurunan kekuatan/tahanan.
e.    Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan luka pembedahan dan tindakan invasif














PERENCANAAN KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan
Tujuan
Intervensi
Rasional
1. Kerusakan perfusi jaringan
    serebral
NOC Outcome :
- Perfusi jaringan cerebral
- Balance cairan

Client Outcome :
- Vital sign membaik
- Fungsi motorik sensorik
   membaik
NIC : Circulatory care
1. Monitor vital sign
2. Moniror status neurologi
3. Monitor status hemodinamik
4. Posisikan kepela klien head Up 30o
5. Kolaborasi pemberian manitol
    sesuai order


Mengetahui adanya resiko peningkatan TIK

Peningkatan aliran vena dari kepala menyebabkan penurunan TIK
Mengurangi edema cerebri
2. Ketidakefektifan jalan
    napas
NOC Outcome :
- Status respirasi : pertukaran  
                      Gas
- Status respirasi : kepatenan  
                             jalan napas
- Status respirasi : ventilasi
- Kontrol aspirasi

Client Outcome :
- Jalan napas paten
- Sekret dapat dikeluarkan
- Suara napas bersih
NIC : Manajemen jalana napas
1.Monitor status respirasi dan
   Oksigenasi
2. Bersihkan jalan napas

3. Auskultasi suara pernapasan

4. Berikan Oksigen sesuai
    Program

NIC : Suctioning air way
1. Observasi sekret yang keluar
2. Auskultasi seblum dan sesudah
    melakukan suction
3. Gunakan pealatan steril pada
    saat melakukan suction
4. Informasikan pada klien dan
    keluarga tentang tindakan 
    suction


Mengetahui kepastian dan kepatenan kebersihan jalan napas








Membebaskan jalan napas terhadap akumulasi sekret guna terpenuhinya kebutuhan oksigenasi klien
3. Kerusakan integritas kulit
NOC Outcome :
- Integritas jaringan

Client Outcome :
- Integritas kulit utuh
NIC : Perawatan luka dan
          pertahanan kulit
1. Observasi lokasi terjadinya
    kerusakan integritas kulit
2. Kaji faktor resiko kerusakan
    integritas kulit
3. Lakukan perawatan luka
4. Monitor status nutrisi
5. Atur posisi klien tiap 1 jam
    Sekali
6. Pertahankan kebersihan alat
    Tenun



Mengetahui seberapa luas kerusakan integritas kulit klien




Mencegah terjadinya penekanan pada area dekubibus
4. Intolerasi aktivitas
NOC Outcome :
- Pergerakan sendi aktif
- Tingkat mobilisasi
- Perawatan ADLs

Client Outcome :
- Peningkatan kemampuan
  dan kekuatan otot dalam
  bergerak
- Peningkatan aktivitas fisik
NIC : Terapi latihan (pergerakan sendi)
1. Observasi KU klien
2. Tentuka ketebatasan gerak
     Klien
3. Lakukan ROM sesuai
    Kemampuan
4. Kolaborasi dengan terapis
    dalam melaksanakan latihan

NIC : Terapi latihan (kontrol otot)
1. Evaluasi fungsi sensori
2. Tingkatkan aktivitas motorik
     sesuai kemampuan
3. Gunakan sentuhan guna
    meminimalkan spasme otot


Dengan latihan pergerakan akan mencegah terjadinya kontraktur otot







Meminimalkan terjadinya kerusakan mobilitas fisik
5. Resiko terjadi infeksi
NOC Outcome :
- Status imunologi
- Kontrol infeksi
- Kontrol resiko

Client Outcome :
- Bebas dari tanda-tanda
   Infeksi
- Angka lekosit dalam batas
   Normal
- Vital sign dalam batas
   normal
NIC : Kontrol infeksi
1. Pertahankan kebersihan
    Lingkungan
2. Batasi pengunjung
3. Anjurkan dan ajarkan pada
    keluarga untuk cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan klien
4. Gunakan teknik septik dan
    aseptik dalam perawatan klien
5. Pertahankan intake nutrisi yang adekuat
6. Kaji adanya tanda-tanda infeksi
7. Monitor vital sign
8. Kelola terapi antibiotika

NIC : Pencegahan infeksi
1. Monitor vital sign
2. Monitor tanda-tanda infeksi
3. Monitor hasil laboratorium
4. Manajemen lingkungan


5. Manajemen pengobatan

Meminimalkan invasi mikroorganisme penyebab infeksi kedalam tubuh













Mencegah terjadinya infeksi lanjutan


Memberikan perlindungan pada klien tehadap paparan mikroorganisme penyebab infeksi
Memastikan pengobatan yang diberikan sesuai program








KEPUSTAKAAN
Arif Mansjoer, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Penerbit Media Aeusculapius FK-UI, Jakarta

Doenges M.E. at al., 1992,  Nursing Care Plans,  F.A. Davis Company, Philadelphia

Hudak C.M., 1994,  Critical Care Nursing, Lippincort Company, Philadelphia.

Kuncara, H.Y, dkk, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, EGC, Jakarta

Joane C. Mc. Closkey, Gloria M. Bulechek, 1996, Nursing Interventions Classification (NIC), Mosby Year-Book, St. Louis

Marion Johnson, dkk, 2000, Nursing Outcome Classifications (NOC), Mosby Year-Book, St. Louis

Marjory Gordon, dkk, 2001, Nursing Diagnoses: Definition & Classification 2001-2002,  NANDA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar